Jakarta,Warnanews.com – Hasil riset Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia dan Greenpeace Indonesia, dipublikasikan live via YouTube pada penghujung September silam, terkait kontaminasi mikroplastik pada air minum kemasan plastik bentuk botol maupun galon tidak ada air minum dalam kemasan yang beredar di Jakarta Raya terbebas dari partikel renik itu. Bahkan, bila sumber air di alam ikut jadi acuan hasilnya tetap sama.
Penelitian yang dipublikasikan pertama kali pada September silam itu mendapati sumber air alam di seputaran Jakarta juga mengandung kontaminan mikroplastik meskipun dalam jumlah yang lebih kecil.
Perwakilan Greenpeace Indonesia, mengatakan seolah-olah manasbihkan galon sekali pakai sebagai ancaman bagi lingkungan. “Galon sekali pakai hadir seiring dengan tingginya konsumsi air minum dalam kemasan,” kata bewara lembaga.
“Sayangnya, inovasi galon sekali pakai tidak lantas menghilangkan potensi kontaminasi partikel asing dalam air minum.” Semangat advokasi bisa jadi membuat lembaga lupa pada fakta plastik, apapun jenisnya,
sejatinya tersusun dari serat-serat polimer yang mudah lepas meski bentuknya sekilas rigid. Lembaga, hingga akhir acara, juga luput dari mengungkap kalau produk air kemasan dalam
galon sekali pakai hanyalah planet kecil pada galaksi industri air minum kemasan di Indonesia. Asal tahu saja, ada 1.145 produsen air minum kemasan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Semuanya menyasar pasar dengan level konsumsi air kemasan 26,2 miliar liter per tahun 2016.Hampir 70% dari angka konsumsi itu adalah pasar produk galon isi ulang bermerek denga bahan plastik polikarbonat (PC). Di lapangan, produk berupa galon sekali pakai — muncul dipasaran pada 2015 — tak ubahnya pemain yang baru belajar berlari bila mengingat ada galon guna ulang bermerek yang telah hadir dan mendominasi pasar sejak 1973.
Peneliti dari Universitas Indonesia memaparkan sifat khas polimer yang mudah luruh, peneliti lembaga menyebut mikroplastik sebagai sesuatu yang tak terhindarkan bagi manusia modern yang akrab dengan air minum dalam kemasan plastik. Sayangnya, peneliti itu tak menyebut secara rinci ihwal alasan di balik fokus riset kecuali sebaris penjelasan belum pernah ada penelitian terkait mikroplastik pada air minum dalam wadah galon sekali pakai.
Nah, separuh cerita lainnya adalah, hingga akhir publikasi laporan, tak ada penjelasan ihwal apa yang sebenarnya membedakan penelitian itu dengan penelitian serupa sebelumnya. Kendati, sejumlah sumber di kalangan industri menyebut penelitian Universitas Indonesia itu lebih untuk mendukung kampanye menekan penggunaan plastik yang telah lama didengungkan Greenpeace.
Sejatinya, di level global, pembahasan soal keberadaan mikroplastik pada air minum kemasan mulai kencang terdengar lepas publikasi riset fenomenal sebuah universitas di Amerika Serikat. Pada 2018 tepatnya, peneliti Departemen Kimia State University of New York at Fredonia mengungkap keberadaan mikroplastik pada 259 botol air minum kemasan dari 11 merek yang dijual di delapan negara.
Pasalnya, riset itu menggunakan sampel air minum kemasan yang diambil dari Indonesia. Secara khusus, riset menyebut sampel dari Indonesia berasal berupa air dalam botol plastik mereka Aqua, milik raksasa air minum dunia Danone, yang dibeli secara acak dari sejumlah tempat di Bali, Medan dan Jakarta, lalu diterbangkan ke Amerika untuk diteliti.
Laporan “Microplastic in Drinking-water” oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, antara lain merujuk hasil riset Fredonia dan sekitar 50 riset sejenis lainnya di seluruh dunia, hadir untuk menjawab pertanyaan dan kecemasan global ihwal kemungkinan dampak mikroplastik dalam air minum pada kesehatan manusia.
Setebal 124 halaman, laporan menggambarkan mikroplastik sebagai ubiquitous, ada dimana-mana, di semua lingkungan, dari perairan laut hingga makanan, dari udara hingga air minum, baik dalam botol maupun dari air keran. Hanya saja, kata lembaga, belum ada penelitian yang konklusif ihwal efeknya pada kesehatan manusia dan sebab itu tak perlu jadi biang kecemasan.
Menurut Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan pada Badan Pengawas Obat dan Makanan, Rita Endang, penilaian WHO itu belum bergeser. Berbicara dalam sebuah diskusi online yang digelar sebuah lembaga advokasi konsumen, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, di Jakarta, pada Rabu (6 Oktober), dia menyebut WHO belum merekomendasikan pemantauan rutin atas mikroplastik.
“Sampai saat ini, belum ada resiko kesehatan terkait mikroplastik,” katanya. “Pada 2020, rapat bersama Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives jelas sekali menyampaikan adalah belum menjadi prioritas bagi mikroplastik untuk diadakan analisa. Bahkan pada 2021, otoritas keamanan pangan tertinggi Eropa, European Food Safety Authority, juga menyampaikan hal yang sama: (pemantauan rutin) mikroplastik belum menjadi prioritas,” ucap Rita dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/10).
Riset kolaboratif Universitas Indonesia dan Greenpeace Indonesia mudah terbaca gagal dalam menghadirkan sesuatu yang baru dan signifkan. Apalagi tak ada informasi yang cukup perihal naskah ilmiah hasil riset berikut informasi yang sifatnya “full disclosure” atas kerjasama di antara kedua lembaga — sesuatu yang seharusnya diungkap sejak awal sebagai bagian dari pertanggungjawaban publik